MAKAM tua itu membisu seribu basa dimakan zaman. Di atasnya, kumpulan batu kali sebesar kepala bayi itu tertumpuk rapi, membentuk ruas persegi panjang 1X1,5 meter persegi. Dari sela-sela bagian batu di bagian tengah, muncul sebatang pohon mawar merah berduri, seolah berfungsi sebagai penghias sekaligus pelindung makam tersebut dari sengatan terik matahari.
“Ini makam Hajah Maing Khodijah, pendiri sekaligus pemimpin pertama desa kami,”ungkap Ahmad Nasai (60), salah satu sesepuh di Gasol. Itu sebuah nama desa yang terletak di kawasan kaki Gunung Gede dan masuk dalam wilayah Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.
Sejak zaman baheula, Gasol dikenal sebagai salah satu kawasan penghasil beras lokal kualitas nomor 1 di Cianjur. Karena struktur, tekstur dan unsur hara tanahnya yang baik buat bercocok tanam, di desa yang terdiri dari 4 dusun itu, berbagai varietas padi lokal tumbuh subur. Mulai gebang omyok, hawara batu, peuteuy, pare menyan (beurem seungit), conggreng, ketan cikur, banggala, cingkrik, hawara jambu, rogol dan berbagai nama varietas padi yang bisa jadi anak-anak muda Gasol sekalipun saat ini tidak mengenalnya.
“Anak-anak muda Gasol sekarang mah lebih hapal nama-nama merk sepeda motor dibandingkan nama-nama jenis pare ageung,”ujar A.Buchori Muslim, Kepala Dusun II di Desa Gasol. Pare ageung merupakan sebutan para petani Cianjur untuk jenis padi lokal.
Gasol sendiri merupakan desa yang masuk dalam wilayah Kecamatan Cugenang. Luasnya sekitar 233.264 ha yang secara keseluruhan memiliki penduduk berjumlah 6736 jiwa (2010). Hampir sebagian besar wilayah Gasol adalah lahan pertanian. Otomatis dengan situasi seperti itu, mata pencaharian penduduk Gasol mayoritas adalah petani.
“Sebenarnya orang Gasol itu identik dengan petani. Sekarang saja jumlahnya mulai berkurang karena ada sebagian anak-anak kami yang lebih memilih menjadi kuli bangunan, buruh pabrik, tukang ojeg atau jadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di Arab dan Malaysia,”ujar T.Syam Soeuri, salah satu aparat pemerintah di Desa Gasol.
Pernyataan Syam, diamini oleh Aki Elon (85). Menurut lelaki paling sepuh di Gasol itu, sebenarnya tak ada cerita orang Gasol itu menjadi pegawai pemerintah, pedagang apalagi sebagai buruh pabrik atau tukang ojeg. ”Kami adalah petani padi. Mengapa? Karena karuhun (nenek moyang) kami juga adalah petani,”kata lelaki tua yang terlihat masih bugar tersebut. Benarkah?
*
SUATU HARI DI TAHUN 1900-AN. Puluhan bendi yang sarat penumpang dan muatan bergerak dari arah Pameungpeuk, sebuah kampung di utara wilayah Cugenang. Guna menghindari jalan yang sempit dan curam, mereka terpaksa jalan dalam ritme yang pelan. “Bayangkan saja saat itu, jalan ageung yang melewati jalur Cugenang juga masih belum sebagus sekarang,”ujar Ahmad Nasai yang sehari-hari akrab dikenal warga Gasol dengan sebutan Apih Iyang itu.
Jalan ageung adalah sebutan orang Sunda untuk Jalan Raya Pos. Itu nama jalan utama di Jawa yang pembuatannya
diilhami oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels pada 1809 dengan darah dan air mata orang-orang bumiputera.
Lantas siapa orang-orang yang ada dalam bendi dan pedati tersebut? Mereka tak lain adalah rombongan ‘pengungsi’ yang diperintahkan hijrah oleh Pemerintah Hindia Belanda ke selatan jalan raya pos Cugenang, tepat di timur kaki Gunung Gede. “Uniknya rombongan itu dipimpin oleh seorang perempuan tua bernama Hajah Maing Khodijah dan suaminya yang bernama Haji Tohir,”tutur Apih Iyang, yang mengaku sebagai turunan generasi ke-5 dari perempuan perkasa tersebut.
Tak ada keterangan yang detail soal musabab kepindahan rombongan yang terdiri dari 5 keluarga itu. Namun menurut Ahmad Memet Khumaedi (63), bisa jadi hal tersebut disebabkan oleh ketidakstabilan tanah di wilayah Pameungpeuk kala itu. “Puncaknya terjadi ketika Gunung Rasamala (sebenarnya hanya sebuah bukit) yang menaungi Pameungpeuk, entah bagaimana tiba-tiba ‘terbelah’ menjadi dua bagian,”kata salah satu sesepuh yang juga masih keturunan Hajah Maing Khodijah itu.
Dan memang menurut Dr.Visser (1922) dalam On Land Earthquakes 1600-1921, Cianjur meruapakan bagian daerah yang pernah dilanda gempa yang sangat hebat pada 28 Maret 1879 dan 14 Januari 1900. Ketika menjenguk foto-foto lama di situs milik KITLV Belanda, saya menyaksikan betapa hebatnya akibat gempa tersebut hingga menyebabkan rumah-rumah penduduk rata menjadi tanah. Adakah ‘terbelahnya’ Gunung Rasamala disebabkan oleh gempa yang berdaya besar tersebut? Sepertinya para sejarawan harus bekerja keras mencari jawaban dari pertanyaan itu.
Singkat cerita, rombongan pengungsi tersebut sampai di lahan yang ditunjuk Pemerintah Hindia Belanda untuk tempat pemukiman baru mereka. Letaknya hanya sekitar 10 km dari Gunung Rasamala dan ada dalam wilayah aliran Sungai Cianjur. Mereka lantas membuka lahan dengan menebangi berbagai jenis pohon buah-buahan seperti manggis, kupa, rambutan, menteng dan berbagai jenis pohon buah-buahan yang banyak tumbuh di sana.
Saat proses pembukaan lahan itulah, mereka menyaksikan betapa suburnya kawasan baru yang akan ditempati tersebut. Bukan saja tanahnya yang baik untuk bercocok tanam, namun juga airnya yang seolah tak ada habis-habisnya mengalir, cocok untuk menjadi tempat membersihkan diri.
Konon dari situasi tersebut, awal mulanya tercipta nama “gasol”. “Gasol itu sesungguhnya berasal dari kata Arab: guslu yang artinya bersih-bersih. Karena orang Sunda tidak terbiasa melafalkan kata itu, yang muncul kemudian kata “gasol”,”ungkap Ahmad Memet Khumaedi yang dikenal juga sebagai tokoh agama di Gasol.
Ikhwal “akrabnya” para pendiri Gasol itu dengan istilah-istilah Arab dan Islam, bisa ditelusuri dari silsilah 2 tokoh utama pendirinya: Hajah Maing Khodijah dan Haji Tohir. Menurut Apih Iyang, Hajah Maing Khodijah sendiri merupakan putera dari Raden Jagadireksa ( Pa Gede).
“Secara nasab, Raden Jagadireksa ini merupakan turunan Panjalu (sebuah kerajaan Sunda kuno yang ada di kawasan Ciamis) yang masuk Islam lalu menyingkir ke wilayah Pameungpeuk,”katanya. Bahkan kata pameungpeuk sendiri memiliki arti kata “persembunyian” atau “penyamaran”.
Nasab Haji Tohir malah lebih ‘kental’ lagi warna Islamnya. Ia merupakan cucu dari Dalem Sakeh, penyebar Islam di wilayah Citeureup, Bogor. Disebutkan juga Dalem Sakeh ini masih keturunan langsung dari Syeikh Maulana Hasanuddin, Sultan pertama Kerajaan Banten sekaligus penyebar agama Islam di tanah para jawara itu.
**
HIJRAHNYA ORANG-ORANG PAMEUNGPEUK ke kawasan Gasol ternyata membawa berkah tersendiri. Bukan saja mereka bisa menjadikan Gasol tersebut sebagai tempat yang menenangkan buat beribadah, namun juga sekaligus tempat mereka mencari nafkah. Berbekal benih padi yang dibawa dari Pameungpeuk, mereka lantas menjadikan hampir sebagian besar kawasan tersebut sebagai sawah. Sebagian lahan lagi mereka jadikan kebun sayuran dan balong (kolam ikan yang cukup luas).
Karena itu, alih-alih hidup susah di tanah pengungsian, orang-orang Pameungpeuk itu malah bisa memenuhi kehidupan mereka dari bertani. “Singkatnya, mau nasi tinggal ambil padi di sawah, mau ikan tinggal ambil di balong, ingin sayuran tinggal ambil di kebun. Praktis kebutuhan yang mereka beli di kota hanya garam dan terasi, makanya muncul pribahasa hirup cukup jang meuli tarasi jeung uyah, ”ujar Apih Iyang. Artinya hidup itu cukup untuk membeli terasi dan garam.
Begitu melimpahnya hasil pertanian di Gasol, sampai mereka pada akhirnya bisa menjual kelebihan tersebut ke luar desa. Jika saat itu Cianjur dikatakan sebagai lumbung bagi Jawa Barat, maka Gasol adalah lumbung bagi Cianjur. Bahkan menurut Apih Iyang, beras putih yang terkenal hingga didendangkan dalam sebuah tembang cianjuran, Jukut Cirumput adalah beras Gasol, bukan beras Panumbangan.
“Kenapa lebih dikenal sebagai beras Panumbangan, bisa jadi karena dulu beras dari Gasol diperjualbelikan di Panumbangan, yang merupakan tempat penimbangan dan transaksi para pedagang beras dari berbagai tempat,”tuturnya.
Hingga akhir 1960-an, para petani Gasol masih setia menanam pare ageung. Barulah pada sekitar tahun 1971, ketika Presiden Soeharto mencanangkan PELITA I (Pembangunan Lima Tahun ke-1), dengan salah satu programnya swa sembada pangan, Gasol mulai dirambah oleh padi-padi rekayasa genetik yang pertumbuhannya digantungkan pada pupuk-pupuk kimia.
Seiring dengan kondisi tersebut, berbagai “kemajuan” kota mulai merambah Gasol. Pola hidup “cukup jang meuli tarasi jeung uyah” mulai sirna, digantikan dengan sikap konsumtif gaya manusia modern. Hidup tidak lagi berjalan secara sederhana dan lebih mempertuhankan gengsi.
“Anak-anak muda sekarang pasti pada malu jika harus turun ke lumpur sawah seperti anak-anak muda dulu,”ujar Aki Elon dalam bahasa Sunda
Makam tua itu membisu seribu basa dimakan zaman. Sekitar sepelemparan batu dari sana, beberapa anak muda tengah bersantai di sebuah pos siskamling. Di kiri kanan mereka, beberapa sepeda motor terbaru buatan Jepang terparkir secara sembarang. Coba tanya kepada mereka tentang hawara batu, gobang omyok atau banggala, dengan diiringi senyum tanpa dosa, pasti mereka menggelengkan kepala. (hendijo)
Posting Komentar