Sebuah peringatan dari kesia-siaan perang dan keterpisahan manusia dari tanah airnya tercinta.
SEPULUH makam bernisan Eisernes Kreuz
(simbol salib baja khas bangsa Jerman) warna putih itu berderet rapi.
Di atasnya, helaian daun cemara terserak, bersanding dengan beberapa
kuntum bunga kemboja yang terjatuh dari pohonnya. Sekitar kawasan
pemakaman yang luasnya kira 250 meter persegi itu, 3 pohon karet munding
raksasa berdiri tegak, seolah menjadi saksi bisu sejarah keberadaan
makam orang-orang asing tersebut di Arca Domas.
Arca Domas (dari bahasa Sansekerta yang
artinya 800 arca) adalah sebuah kampung yang masuk dalam wilayah Desa
Sukaresmi,Kecamatan Megamendung,Kabupaten Bogor. Nama itu mengacu kepada
sekumpulan arca kuno yang pernah ada di kawasan itu. Konon, arca-arca
itu merupakan peninggalan orang-orang Hindu dari Kerajaan Pakuan, sebuah
kerajaan Sunda yang sudah punah ratusan tahun yang lalu.
Sebelum mencapai tempat itu, sepanjang jalan
dari arah Cikopo Selatan, saya d coba memunguti serpihan-serpihan
informasi sekitar keberadaan makam orang-orang Jerman tersebut. Namun
info yang saya dapat sangat minim. Kendati orang-orang Megamendung
mengetahui keberadaan pemakaman itu, tak ada satu pun yang paham
mengenai sejarahnya. Alih-alih paham yang dikebumikan di sana adalah
para serdadu Jerman, mereka malah menyebut tempat itu sebagai Makam
Belanda atau Makam Cina.
Soal itu diakui oleh Asep Sudayat. Menurut
Lurah Desa Sukaresmi itu, rata-rata orang Megamendung memang tak
mengetahu sama sekali soal keberadaan dan sejarah pemakaman itu.
“Jangankan orang-orang sini yang kebanyakannya pendatang, Mak Ema
sendiri malah tidak tahu soal sejarah makam itu,”ujarnya.
Mak Ema adalah seorang perempuan uzur yang
merupakan kuncen pemakaman tersebut. Umurnya sekitar 70-an. Ketika kami
bertamu ke rumahnya yang terletak di samping pemakaman itu, ia tengah
mengawasi sekelompok bocah yang tengah bermain di pemakaman itu. Kami
lantas ngobrol dalam bahasa Sunda.
Info yang didapat dari Lurah Asep ternyata
memang benar adanya. Meskipun berposisi sebagai kuncen, Mak Ema sama
sekali buta soal sejarah pemakaman itu. Terlebih soal orang-orang Jerman
yang dikebumikan di dalamnya. Memang ia mengaku dulu sempat diberi
sebuah buku tentang sejarah orang-orang Jerman itu oleh Kedutaan Besar
Republik Federal Jerman di Jakarta.
“Namun sekarang sudah tidak ada lagi. Mungkin
dipakai mainan oleh salah seorang cucu saya dan terbuang begitu
saja,”kata perempuan uzur yang karena jasanya merawat dan mengawasi
pemakaman itu, digaji 4 juta perenam bulan oleh Kedutaan Besar Republik
Federal Jerman.
Menjelang magrib,kami kembali pulang ke Depok
tanpa informasi yang berarti dari keberadaan makam orang-orang Jerman
itu. Titik terang justru saya dapat, ketika malamnya saya berselancar di
dunia maya. Beberapa tulisan tentang sejarah keberaadaan serdadu Jerman
di Indonesia sangat membantu memuaskan rasa keingintahuan saya.
Terutama tulisan-tulisan dari Herwig Zahorka, seorang sejarawan yang
mendalami sejarah militer Jerman di Indonesia.
Bermula dari Hellferich Bersaudara
Sekitar tahun 1980-an, secara resmi Pemakaman
Serdadu Jerman di Kampung Arca Domas ditangani oleh Kedutaan Besar
Jerman Barat di Indonesia. Sebelumnya pemakaman tua itu, ada di bawah
penguasaan Afdeling Cikopo Perkebunan Teh Gunung Mas,” Yang ditugasi
pihak perkebunan untuk merawat pemakaman Jirman (maksudnya Jerman) itu
adalah bapak saya yang namanya Atmadja,”ujar Mak Ema.
Dari sekelumit informasi sejarah itu, muncul
sebuah pertanyaan: mengapa pihak Perkebunan Teh Gunung Mas berinsiatif
mengambil tanggungjawab terhadap keberadaan pemakaman itu? Jawabannya,
bisa jadi karena pendirian Afdeling Cikopo (yang merupakan bagian dari
Perkebunan Teh Gunung Mas) tersebut, terkait erat dengan 2 orang
bersaudara yang merupakan warga negara Jerman.
Alkisah, pasca Perang Dunia I
(1914-1918),Emil dan Theodor Hellferich membeli tanah seluas 900 hektar
dan menanami tanah itu dengan pohon teh sekaligus mendirikan pabrik
pengelolaannya di kawasan Cikopo. Kehadiran Hellferich bersaudara (yang
tak lain merupakan saudara-saudara kandung dari Wakil Perdana Mentri
Kekaisaran Jerman terakhir yakni Karl Hellferich) di kawasan kaki Gunung
Pangrango itu, tak lain merupakan buah dari politik pintu terbuka
(opendeur politiek) Pemerintah Hindia Belanda yang mulai 1905 membuka
kesempatan seluas-luasnya kepada orang Eropa non Belanda untuk
berinvestasi di Hindia Belanda.
Rupanya keputusan Dua Bersaudara itu untuk
berinvestasi di Hindia Belanda sudah tepat. Mereka meraup banyak
keuntungan dari perkebunan teh Cikopo. Itu dibuktikan dengan sanggupnya
perusahaan mereka membuat sebuah pabrik teh lengkap dengan kabel
pengangkut untuk mengangkut daun teh dan gedung-gedung peristirahatan
yang megah di kawasan yang memiliki ketinggian 900 m dari permukaan
laut itu.
Hellferich bersaudara dikenal sebagai para
pengusaha yang patriotik. Mereka sangat mencintai Kekaisaran Jerman dan
terobsesi dengan aksi-aksi para pahlawannya. Termasuk aksi kepahlawanan
yang dilakukan oleh Admiral Maximilian Graf von Spee yang pada 8
Desember 1914 bentrok dengan Inggris hingga menyebabkan sang admiral
beserta kapal perangnya karam di Kepulauan Falkland.
Sebagai bentuk penghormatan kepada Komandan
Skwardon Jerman Asia Tenggara (Deutsch-Ostasiatisches Geschwader) itu,
Hellferich bersaudara lantas membangun sebuah monumen peringatan di
kawasan Kampung Arca Domas. Peresmian terjadi pada 1926, berbarengan
dengan kunjungan sebuah kapal penjelajah Jerman dengan nama “Hamburg” di
Pelabuhan Tanjung Priok.
Ketika berkunjung ke Kampung Arca Domas, kami
sempat menyaksikan monumen peringatan yang tingginya sekitar 4 meter
itu masih berdiri tegak,tepat di tengah areal pemakaman serdadu Jerman.
Pada tubuh monumen tersebut terukir untaian kalimat berbahasa Jerman,
yang artinya berbunyi “Untuk para awak Armada Jerman Asia Tenggara yang
pemberani 1914. Dibangun oleh Emil dan Theodor Helfferich 1926.”
“Sebagai penghargaan pada agama tua Jawa,
Hellferich bersaudara menyertakan patung Buddha dan patung Ganesha di
kedua sisi monumen tersebut,”tulis Zahorka dalam “Arca Domas – Ein
Deutscher Soldatenfriedhof in Indonesien” yang edisi Indonesianya
diberi judul “Sejarah dari Tugu Peringatan Pahlawan Jerman di Arca
Domas,Indonesia”
Helfferich bersaudara kembali ke Jerman pada
1928. Peran sebagai pengelola perusahaan, lantas mereka percayakan
kepada Albert Vehring dari Bielefeld, yang sudah makan asam garam
perkebunan teh di wilayah New Guinea.
Tahun 1939 Perang Dunia II meletus. Seiring
dengan peristiwa tersebut, pada 10 Mei 1940 bala tentara Jerman
menyerbu Belanda. Penyerbuan tersebut berakibat Pemerintah Hindia
Belanda menahan 2.436 orang Jerman. Mayoritas orang Jerman yang menjadi
tahanan memiliki profesi sebagai ahli budaya, insinyur, dokter, ahli
ilmu pegetahuan, ahli minyak bumi, diplomat, misionaris, pelaut, seniman
dan pengusaha termasuk pengusaha teh. Lantas bagaimana nasib Perkebunan
Cikopo? Sepeninggal orang-orang Jerman tersebut, pengelolaannya diambil
alih Pemerintah Hindia Belanda.
“U-Boots-Weide”
Dua tahun setelah penahanan orang-orang
Jerman di Hindia Belanda, Jepang menyerbu kawasan Nusantara. Usai
melalui berbagai pertempuran di darat, laut dan udara, akhirnya pada
Maret 1942 secara resmi Pemerintah Hindia Belanda menyatakan diri kalah
perang dan menyerahkan kekuasaannya kepada Jepang.
Kekalahan tersebut berpengaruh besar terhadap
kelangsungan hidup ribuan orang Jerman yang menjadi tawanan Belanda.
Sebagai sekutu Jepang, otomatis status mereka kembali ke kondisi
sebelum mereka menjadi orang tahanan. Bahkan lebih dari itu, mereka pun
malah mendapat kedudukan yang lebih istimewa secara politik dan ekonomi
dari Pemerintah Militer Jepang di Indonesia.
Sebagai contoh, Albert Vehring yang sempat
menjadi tawanan Belanda di Pulau Nias,dikembalikan ke posisi sebagai
pengelola Perkebunan Cikopo. Itu dilakukan berdasarkan kesepakatan
Pemerintah Militer Jepang dengan Pemerintah Nazi Jerman yang saat itu
diwakili oleh Mayor Laut Dr. Hermann Kandeler pada 1943.
Sejak itulah, kedudukan Perkebunan Cikopo
menjadi penting bagi militer Jerman. Selain menjadi tempat yang sangat
nyaman untuk istirahat selepas berperang dengan Sekutu, Perkebunan
Cikopo pun menjadi lumbung logistik bagi Kriegsmarine (Angkatan Laut
Jerman). Dari sana, berbagai kebutuhan makan seperti sayur mayur,
kentang, daging sapi, daging babi, daging ayam mengalir ke 42 kapal
selam Jerman yang beroperasi di sekitar Asia Tenggara.
“Begitu pentingnya posisi Cikopo, para
prajurit Angkatan Laut Jerman menyebutnya sebagai “U-Boots-Weide”
(padang rumput untuk kapal selam),”tulis Zahorka.
Pada 8 Mei 1945, Jerman menyatakan takluk
kepada Sekutu. Kenyataan tersebut menjadikan para sedadu Jerman yang ada
di Indonesia patah semangat. Itu dibuktikan dengan adanya penolakan
dari Mayor Laut Dr.Hermann Kandeler terhadap ajakan Admiral Maeda. Salah
satu komandan Nihon Kaigun (Angkatan Laut Jepang) itu mengajak pasukan
Kandeler untuk meneruskan berperang dengan sekutu.Caranya tentu saja
dengan bergabung dengan Nihon Kaigun.
Alih-alih menerima ajakantersebut, para
marinir Jerman yang bertugas di kapal-kapal selam malah memutuskan untuk
mendarat dan “bersempunyi” di Perkebunan Cikopo. Di bawah pimpinan
Komandan U-129 yakni Mayor Laut Burghagen mereka membawa senjata dan
kendaraan-kendaraan mereka ke tempat Albert Vehring tersebut.
“Di Cikopo, mereka melepas seragam
Kriegsmarine dan berlaku sebagai orang sipil. Adapun kapal-kapal selam
yang tersisa mereka berikan kepada orang-orang Jepang,”kata Zahorka.
Tanggal 14 Agustus 1945, giliran Jepang
menyerah kepada Sekutu. Sebulan sesudah penyerahan tersebut, keberadaan
para serdadu Nazi Jerman di Cikopo itu mulai tercium oleh intelejen
Pasukan Inggris yang datang mewakili Sekutu di Indonesia. September
1945, Inggris mengirimkan sepasukan Gurkha untuk menyerang sekaligus
mengevakuasi para serdadu Jerman itu ke Bogor.
Tak ada perlawanan berarti dari serdadu
Jerman tersebut. Alih-alih melawan, mereka malah bersedia membantu
kerja-kerja Tentara Inggris mengurusi para tawanan Belanda. Tentu saja
dengan syarat mereka tetap dibiarkan hidup dan dijamin kemananannya oleh
Tentara Inggris.
Dengan truk milik Jepang, mereka lantas
dikirim ke Bogor. Sebelum berangkat ke kota hujan itu, Tentara Inggris
memerintahkan untuk kembali mengenakan seragam dan membawa
senjata-senjata mereka.”Ternyata pihak Inggris memanfaatkan serdadu
Jerman tersebut untuk melindungi orang-orang Belanda yang semula ditawan
Jepang dari serangan para gerilyawan Indonesia,”ujar Zahorka.
Di-Onrust-kan oleh Belanda
Sekitar pertengahan Januari 1946, Tentara
Inggris menyerahkan sisa-sisa serdadu Jerman itu kepada NICA (Pemerintah
Sipil Hindia Belanda). Saat itu jumlah keseluruhannya adalah 260 orang.
NICA kemudian memenjarakan mereka di Pulau Onrust, sebuah kawasan
terpencil bekas tempat rehabilitasi lepra yang terletak di Kepulauan
Seribu.
Kondisi di Pulau Onrust sangatlah buruk.
Begitu buruknya, sehingga banyak orang-orang Jerman yang mati dimakan
penyakit demam berdarah, malaria dan kelaparan. Sebagian yang masih
hidup, bertahan dalam penderitaan. Banyak dari mereka yang coba
melarikan diri. Ada yang berhasil dan ada pula yang gagal dan ditembak
mati seperti seorang Jerman bernama Freitag.
Yang berhasil lari dari “neraka Onrust”
tercatat ada 2 orang. Namanya Werner dan Losche, yang merupakan anggota
Kriegsmarine dari U-219. Begitu lolos dan mendarat kembali di Pulau
Jawa, konon kedua serdadu Jerman itu memutuskan bergabung dengan para
gerilyawan Indonesia. Salah seorang dari mereka yakni Losche bahkan
gugur akibat kecelakaan saat merakit sejenis alat pelontar api.
Juli 1946, keberadaan tawanan di Onrust
diketahui oleh Palang Merah Swis. Namun baru pada 28 Oktober 1946,
mereka dapat dievakuasi dengan menggunakan kapal pengangkut pasukan.
Dari Jakarta melalui Bombay dan Rotterdam pada awal Desember 1946,
akhirnya mereka tiba di Hamburg. Berbeda dengan orang-orang sipil
seperti Albert Vehring yang bisa langsung bebas, para serdadu Jerman
“alumni Cikopo” harus kembali menjadi tawanan perang di Munsterlager.
Mereka seolah tak bisa lepas dari kutukan penderitaan manusia bernama
perang.
Monumen Kesia-sian Perang
Sepuluh makam bernisan Eisernes Kreuz (simbol
salib baja khas Nazi) warna putih itu berderet rapi. Di atasnya,
helaian daun cemara terserak, bersanding dengan beberapa kuntum bunga
kemboja yang terjatuh dari pohonnya. Sekitar kawasan pemakaman yang
luasnya kira 250 meter persegi itu, 3 pohon karet munding raksasa
berdiri tegak, seolah menjadi saksi bisu sejarah keberadaan makam
orang-orang asing tersebut di Arca Domas. Lantas siapakah mereka?
Tentu saja mereka merupakan bagian dari
Kriegsmarine. Yang pertama adalah Letnan Friedrich Steinfeld,Komandan
U-195. Ia meninggal di Surabaya pada 30 September 1945, dalam usia 31
tahun akibat penyakit disentri dan kekurangan gizi saat ditawan Sekutu.
Keterangan itu didapat oleh Zahorka dari Peter Marl dan Martin Mueller,
awak kapal selam U-195 yang kini masih hidup di Austria. “Mueller
bahkan pernah ziarah ke Pemakaman Arca Domas pada 1999,”ungkap Zahorka.
Yang kedua adalah Eduard Onnen, seorang
schiffszimmermann (tukang kayu kapal) yang meninggal pada 15 Aprl 1945
dalam usia 39 tahun. Jerman ketiga dan keempat adalah Letnan Satu Laut
Willi Schlummer dan Letnan Insinyur Wilhelm Jens. Mereka berdua tewas
oleh gerilyawan Indonesia di Gedung Jerman, Bogor pada 12 Oktober 1945.
Bisa jadi saat tewas mereka sedang menjalankan tugas dari Tentara
Inggris untuk menjaga orang-orang Belanda.
Serdadu kelima adalah Letnan Laut W. Martens.
Ia mati terbunuh dalam perjalanan kereta api dari Jakarta ke Bogor pada
10 September 1945. Yang keenam adalah Kopral Satu Willi Petschow.
Pemuda berusia 33 tahun itu meninggal pada 29 September 1945 akibat
sakit saat di Perkebunan Cikopo. Yang ketujuh, Kapten Herman Tangermann.
Ia meninggal karena kecelakaan pada 23 Agustus 1945 dalam usia 35
tahun.
Orang Jerman kedelapan adalah Dr.Ing.H.Haake.
Pemuda berusia 30 tahun tersebut, gugur pada 30 November 1944. Saat itu
kapal selam yang ditumpanginya yakni U-196 meledak terkena ranjau laut
Sekutu di Perairan Sukabumi,Jawa Barat. Adapun Jerman ke-9 dan ke-10,
dinyatakan tak dikenal (unbekannt). Itu terjadi akibat saat proses
pergantian nisan, nama mereka yang tertera dalam nisan kayu yang lapuk
sudah tak terbaca lagi.
Kini makam kesepuluh Jerman itu menjadi saksi
bisu sejarah keberadaan serdadu Jerman di Indonesia. Di kaki Gunung
Pangrango, tapak mereka masih bisa dilihat oleh generasi muda saat ini.
Bukan saja sebagai peringatan bahwa perang hanya menimbulkan kesia-siaan
namun juga dapat memisahkan seorang manusia dari tanah airnya
tercinta.
Posting Komentar