Militer Belanda secara membabi buta menangkap dan membunuh siapa saja yang mereka anggap sebagai gerilyawan.
SIAPAKAH sebenarnya orang-orang sipil yang dibantai oleh militer Belanda di Takokak itu? Hingga saya membuat tulisan ini, belum ada kejelasan soal itu. Namun dari keterangan Yusup, disebutkan mereka adalah orang-orang yang dicurigai sebagai simpatisan republiken dan menjadi target operasi pembersihan pasca “enyahnya” Siliwangi dari Jawa Barat. Rata-rata mereka diambil militer Belanda dari wilayah sekitar Sukabumi dan Cianjur.
“Memang bisa jadi yang ditembak itu adalah kaum republiken beneran, tapi tak sedikit pula dari mereka merupakan korban fitnah semata,”ujar mantan petarung republik yang di hari-hari tuanya pernah menjadi kuli panggul tersebut.
Diberi Cincin oleh Tawanan
Beberapa bulan setelah kejadian itu, Yusup pernah diceritakan oleh salah seorang uwak-nya yang dulu tinggal di
dekat gedung lama Kecamatan Takokak. Haji Saleh, nama uwak dari Yusup tersebut, sempat melihat puluhan orang luar Takokak dikumpulkan di depan rumah Syafei, nama camat NICA (belakangan saat detik-detik revolusi berakhir ia tewas dicincang oleh para petarung republik). Mereka diantar kesana dengan kawalan sekelompok opas kecamatan pimpinan seorang lelaki bernama Ateng.
Almarhum Haji Saleh bahkan pernah berbicara dengan salah satu tahanan yang mengaku sebagai seorang amil (penghulu) di Sagaranten, sebuah kawasan yang masuk wilayah Sukabumi. Saat ditanya oleh Haji Saleh, musabab ia sampai ada di Takokak, dalam wajah sedih, sang amil menyatakan sama sekali tak tahu. “Ya mungkin sudah nasib saya harus mati di sini,”jawabnya. Besoknya sang amil itu memang benar-benar tewas diberondong peluru Belanda di kawasan Cikawung.
Andin juga pernah mendapatkan kisah mengharukan tentang para tawanan republiken yang dibantai tentara Belanda itu. Salah seorang kerabatnya yang tinggal di kawasan Padakati menceritakan dirinya pernah diberi sebuah cincin emas oleh salah satu tawanan tersebut beberapa jam sebelum mereka dieksekusi di Puncak Bungah.
“Kepada saudara saya, tawanan itu bilang bahwa barang itu tidak akan berguna lagi buat dirinya,” ujar mantan lurah Desa Sindangresmi itu.
Sebagai mantan telik sandi Siliwangi, Yusup sangat mafhum jika saat itu sangat mudah menuduh seseorang sebagai “mata-mata republik”. “Istilahnya seseorang kepergok pernah ngasih beras sebutir sekalipun atau seteguk minuman sama tentara republik, ia bisa langsung dicap sebagai mata-mata,”ujarnya.
Jika itu terjadi, tanpa banyak kata, “sang mata-mata” akan diciduk lalu dibawa ke kantor ID (sejenis satuan gugus intelijen-nya militer Belanda). Usai diinterogasi, mereka kemudian langsung dibawa ke Takokak. “Waktu itu, kalau mendengar seseorang dibawa ke Takokak oleh Belanda, sudah dipastikan ia tak akan kembali ke rumah,”kata Yusup.
Atjep Abidin (90) adalah saksi lain dari keganasan militer Belanda di Takokak. Dengan mata kepalanya sendiri, ia pernah menyaksikan sejumlah tiga kali, puluhan orang yang tangannya terikat digiring oleh seorang tentara Belanda totok berbaret hijau ke arah Puncak Bungah dan Jalan Lima. Ia yang merupakan anggota gerilyawan setempat sesungguhnya saat itu merasa geregetan dan “frustasi” melihat pemandangan itu.
“Ya bagaimana tidak geregetan, Belanda itu cuma beberapa orang. Kalau saya punya senjata bagus, mereka pasti itu sudah saya bunuh!”ujarnya dalam nada berapi-api.
Gugurnya Mayor Harun Kabir
Aksi Pembersihan orang-orang republiken oleh militer Belanda di wilayah Sukabumi dan Cianjur, ternyata tidak hanya dilakukan pasca hijrahnya Divisi Siliwangi ke Yogyakarta. Jauh sebelum terjadinya Perjanjian Renville, perburuan orang-orang republiken sudah berlangsung. Bahkan semakin brutal, karena militer Belanda memiliki ambisi untuk menghabisi pasukan Divisi Siliwangi di Jawa Barat.
Sekitar awal tahun 1947, Nyalindung yang menjadi pusat sementara pemerintahan daerah Sukabumi dikepung militer Belanda. Pengepungan itu menjadikan aparat pemerintahan dan militer pro Republik Indonesia meluputkan diri ke pelosok Sukabumi. Salah satunya adalah pimpinan gerilyawan dari Divisi Siliwangi yakni Mayor Harun Kabir.
Menurut sejarawan Cianjur Luki Muharam, untuk menghindari kejaran militer Belanda, lelaki kelahiran Kampung Bojongherang, Cianjur itu mengungsi ke Takokak. Bersamanya ikut pula istri dan anak-anaknya.
“ Selama di Takokak, Mayor Harun Kabir beserta keluarga tinggal di rumah salah satu pengawalnya di kawasan Bunga Melur,”tulis Luki dalam Lalakon ti Cianjur (2012).
Untuk beberapa minggu, kondisi Mayor Harun Kabir aman dari perburuan militer Belanda. Namun entah kurang hati-hati atau karena terlalu percaya kepada masyarakat setempat, lambat laun telik sandi militer Belanda mencium keberadaan Mayor Harun.
“ Saya diberitahu oleh kakak saya bahwa orang yang membocorkan keberadaan Pak Harun ternyata adalah salah seorang penduduk Bunga Melur,”ungkap Andin.
Suatu siang menjelang sore, penduduk sekitar Bunga Melur dikejutkan oleh kedatangan tiba-tiba sekitar satu peleton serdadu Belanda. Saat itu Mayor Harun Kabir tengah bercengkarama dengan istrinya di beranda rumah. Saat para pengawalnya datang untuk memperingatkan akan adanya bahaya, puluhan serdadu Belanda kadung mengepung rumah yang ditempati Harun dan keluarganya.
Tak ada pilihan, sang mayor pun menyerah. Begitu Mayor Harun mengangkat tangannya, tanpa ba bi bu, para serdadu Belanda meringkusnya. Ia lantas dibawa dan diseret secara kasar menuju truk. Entah sebab terlanjur benci atau karena Mayor Harun melawan, sekitar 100 meter dari rumah persembunyian itu,para tentara Belanda tersebut menghabisi Mayor Harun Kabir dengan beberapa tembakan.
“ Saking ingin puasnya, setelah menembak mati Pak Harun, para serdadu Belanda itu menginjak-injak jasadnya dan membiarkan tubuhnya terkapar begitu saja di jalanan desa,”ujar Luki Muharam.
Tidak hanya memburu para pimpinan Siliwangi, militer Belanda pun menangkapi dan menghabisi para pemuda yang tergabung dalam kelompok perlawanan gerilya. Salah satu yang menjadi korban adalah Supardi, lelaki 25 tahun yang merupakan kakak ipar Andin.
SIAPAKAH sebenarnya orang-orang sipil yang dibantai oleh militer Belanda di Takokak itu? Hingga saya membuat tulisan ini, belum ada kejelasan soal itu. Namun dari keterangan Yusup, disebutkan mereka adalah orang-orang yang dicurigai sebagai simpatisan republiken dan menjadi target operasi pembersihan pasca “enyahnya” Siliwangi dari Jawa Barat. Rata-rata mereka diambil militer Belanda dari wilayah sekitar Sukabumi dan Cianjur.
“Memang bisa jadi yang ditembak itu adalah kaum republiken beneran, tapi tak sedikit pula dari mereka merupakan korban fitnah semata,”ujar mantan petarung republik yang di hari-hari tuanya pernah menjadi kuli panggul tersebut.
Diberi Cincin oleh Tawanan
Beberapa bulan setelah kejadian itu, Yusup pernah diceritakan oleh salah seorang uwak-nya yang dulu tinggal di
dekat gedung lama Kecamatan Takokak. Haji Saleh, nama uwak dari Yusup tersebut, sempat melihat puluhan orang luar Takokak dikumpulkan di depan rumah Syafei, nama camat NICA (belakangan saat detik-detik revolusi berakhir ia tewas dicincang oleh para petarung republik). Mereka diantar kesana dengan kawalan sekelompok opas kecamatan pimpinan seorang lelaki bernama Ateng.
Almarhum Haji Saleh bahkan pernah berbicara dengan salah satu tahanan yang mengaku sebagai seorang amil (penghulu) di Sagaranten, sebuah kawasan yang masuk wilayah Sukabumi. Saat ditanya oleh Haji Saleh, musabab ia sampai ada di Takokak, dalam wajah sedih, sang amil menyatakan sama sekali tak tahu. “Ya mungkin sudah nasib saya harus mati di sini,”jawabnya. Besoknya sang amil itu memang benar-benar tewas diberondong peluru Belanda di kawasan Cikawung.
Andin juga pernah mendapatkan kisah mengharukan tentang para tawanan republiken yang dibantai tentara Belanda itu. Salah seorang kerabatnya yang tinggal di kawasan Padakati menceritakan dirinya pernah diberi sebuah cincin emas oleh salah satu tawanan tersebut beberapa jam sebelum mereka dieksekusi di Puncak Bungah.
“Kepada saudara saya, tawanan itu bilang bahwa barang itu tidak akan berguna lagi buat dirinya,” ujar mantan lurah Desa Sindangresmi itu.
Sebagai mantan telik sandi Siliwangi, Yusup sangat mafhum jika saat itu sangat mudah menuduh seseorang sebagai “mata-mata republik”. “Istilahnya seseorang kepergok pernah ngasih beras sebutir sekalipun atau seteguk minuman sama tentara republik, ia bisa langsung dicap sebagai mata-mata,”ujarnya.
Jika itu terjadi, tanpa banyak kata, “sang mata-mata” akan diciduk lalu dibawa ke kantor ID (sejenis satuan gugus intelijen-nya militer Belanda). Usai diinterogasi, mereka kemudian langsung dibawa ke Takokak. “Waktu itu, kalau mendengar seseorang dibawa ke Takokak oleh Belanda, sudah dipastikan ia tak akan kembali ke rumah,”kata Yusup.
Atjep Abidin (90) adalah saksi lain dari keganasan militer Belanda di Takokak. Dengan mata kepalanya sendiri, ia pernah menyaksikan sejumlah tiga kali, puluhan orang yang tangannya terikat digiring oleh seorang tentara Belanda totok berbaret hijau ke arah Puncak Bungah dan Jalan Lima. Ia yang merupakan anggota gerilyawan setempat sesungguhnya saat itu merasa geregetan dan “frustasi” melihat pemandangan itu.
“Ya bagaimana tidak geregetan, Belanda itu cuma beberapa orang. Kalau saya punya senjata bagus, mereka pasti itu sudah saya bunuh!”ujarnya dalam nada berapi-api.
Gugurnya Mayor Harun Kabir
Aksi Pembersihan orang-orang republiken oleh militer Belanda di wilayah Sukabumi dan Cianjur, ternyata tidak hanya dilakukan pasca hijrahnya Divisi Siliwangi ke Yogyakarta. Jauh sebelum terjadinya Perjanjian Renville, perburuan orang-orang republiken sudah berlangsung. Bahkan semakin brutal, karena militer Belanda memiliki ambisi untuk menghabisi pasukan Divisi Siliwangi di Jawa Barat.
Sekitar awal tahun 1947, Nyalindung yang menjadi pusat sementara pemerintahan daerah Sukabumi dikepung militer Belanda. Pengepungan itu menjadikan aparat pemerintahan dan militer pro Republik Indonesia meluputkan diri ke pelosok Sukabumi. Salah satunya adalah pimpinan gerilyawan dari Divisi Siliwangi yakni Mayor Harun Kabir.
Menurut sejarawan Cianjur Luki Muharam, untuk menghindari kejaran militer Belanda, lelaki kelahiran Kampung Bojongherang, Cianjur itu mengungsi ke Takokak. Bersamanya ikut pula istri dan anak-anaknya.
“ Selama di Takokak, Mayor Harun Kabir beserta keluarga tinggal di rumah salah satu pengawalnya di kawasan Bunga Melur,”tulis Luki dalam Lalakon ti Cianjur (2012).
Untuk beberapa minggu, kondisi Mayor Harun Kabir aman dari perburuan militer Belanda. Namun entah kurang hati-hati atau karena terlalu percaya kepada masyarakat setempat, lambat laun telik sandi militer Belanda mencium keberadaan Mayor Harun.
“ Saya diberitahu oleh kakak saya bahwa orang yang membocorkan keberadaan Pak Harun ternyata adalah salah seorang penduduk Bunga Melur,”ungkap Andin.
Suatu siang menjelang sore, penduduk sekitar Bunga Melur dikejutkan oleh kedatangan tiba-tiba sekitar satu peleton serdadu Belanda. Saat itu Mayor Harun Kabir tengah bercengkarama dengan istrinya di beranda rumah. Saat para pengawalnya datang untuk memperingatkan akan adanya bahaya, puluhan serdadu Belanda kadung mengepung rumah yang ditempati Harun dan keluarganya.
Tak ada pilihan, sang mayor pun menyerah. Begitu Mayor Harun mengangkat tangannya, tanpa ba bi bu, para serdadu Belanda meringkusnya. Ia lantas dibawa dan diseret secara kasar menuju truk. Entah sebab terlanjur benci atau karena Mayor Harun melawan, sekitar 100 meter dari rumah persembunyian itu,para tentara Belanda tersebut menghabisi Mayor Harun Kabir dengan beberapa tembakan.
“ Saking ingin puasnya, setelah menembak mati Pak Harun, para serdadu Belanda itu menginjak-injak jasadnya dan membiarkan tubuhnya terkapar begitu saja di jalanan desa,”ujar Luki Muharam.
Tidak hanya memburu para pimpinan Siliwangi, militer Belanda pun menangkapi dan menghabisi para pemuda yang tergabung dalam kelompok perlawanan gerilya. Salah satu yang menjadi korban adalah Supardi, lelaki 25 tahun yang merupakan kakak ipar Andin.
Posting Komentar